26 November 2012

Independent Young Women

Saya dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Ayah saya seorang wartawan dan ibu saya seorang ibu rumah tangga. Saya muncul ke dunia ketika usia perkawinan mereka menginjak angka 2. Hari itu tepat tanggal 4 maret tahun 1991, ibu sendirian pergi ke sebuah klinik bersalin dekat rumah tanpa ditemani ayah karena pada saat itu ayah sedang pergi dinas. Setelah 9 bulan penantian akhirnya lahirlah saya dan saudara kembar saya. Raisa dan Nadia. Awalnya hanya itu nama kami. Lalu nama kami diubah dan ditambah menjadi Raisa Amelia dan Quinta Normalita. Sengaja dibedakan, tidak ada alasan hanya supaya berbeda saja. Rumah kami masih di Bintaro yang pada saat itu masih menjadi mes wartawan sebuah Koran besar yang berbasis di Surabaya. Kami sempat pindah rumah namun akhirnya kembali lagi ke Bintaro dan di rumah yang sama.

Masa kecil saya sangat menyenangkan.

Kalau ada yang tanya apa cita-cita saya dulu, saya ingin sekali menjadi seorang pramugari. Biasanya tak jarang orang bertanya lagi pada saya, "Ngga mau jadi wartawan seperti ayah?". Saya memang suka menulis, tapi menjadikan wartawan menjadi profesi saya sama sekali tidak mau. Saya tau bagaimana sulitnya, saya tau bagaimana lelahnya, saya tau semua. 
Lalu kenapa saya sekarang tidak menjadi pramugari? Itu karena ayah. Ayah sangat keras, dia ingin yang terbaik untuk masa depan anaknya. Banyak keinginan saya yang lenyap begitu saja karena penolakan dari ayah. Kesal? iya. Tapi saya tetap mengalah pada ego sendiri dan mengikuti semua keinginan beliau. Saya hanya ingin melihat senyum di wajah ayah.
Mereka bilang saya anak yang penurut dan selalu menyenangkan orangtua. Saya mengerti keadaan mereka dan tidak pernah menyusahkan. 
Selama di SD saya selalu masuk 5 besar, SMP saya sekolah unggulan dan saya diterima tanpa tes, masuk SMA juga mudah, apalagi masuk Perguruan Tinggi sama sekali tidak tes.
Saya memang tidak mau menambah beban di pundak mereka. Apapun saya lakukan supaya mereka tidak susah. Apalagi beberapa kali kondisi ekonomi keluarga tidak begitu baik. Tapi masalah yang muncul justru mendewasakan saya. Saya harus bisa menghasilkan sesuatu, saya harus mandiri.
Waktu itu usia saya sekitar 10 tahun, diusia yang masih dibilang anak-anak, dan disaat saya baru saja fasih berhitung saya sudah mulai jualan. Jualan apa? makanan-makanan yang didapat dari parsel saya jual lagi haha, pikir saya daripada mubazir lebih baik saya jual dan uangnya saya tabung.
Oiya, dari kecil saya suka sekali nabung, celengan pertama saya itu saya beli di pasar, dari tanah liat dan bentuknya singa. Uang tabungan saya kasih ke ibu, terserah mau dipakai buat apa sama ibu. Itu saya lakukan sampai sekarang, ibu adalah prioritas saya yang utama.
Sampai sekarangpun saya masih berjualan, ditambah lagi saya sudah bekerja. Sibuk? sangat sibuk, apalagi sekarang saya masih kuliah dengan segambreng tugas dan ujian.

Tapi saya harus survive. 
Saya cuma ngga mau nyusahin orangtua. 
Dan saya ngga akan menyusahkan orangtua lagi.
Sudah saatnya bukan, saya yang membahagiakan mereka? 
Sudah saatnya juga kan saya yang membiayai mereka?

Usaha, Doa, dan Keyakinan (SUKSES) :)

2 komentar:

  1. terkadang emang orang tua menyebalkan bagi kita namun akhirnya kita akan tersadar bahwa menyebalkannya mereka adalah kebaikan untuk kita (seringnya).

    keep up your chin and ... *toss

    ekawan
    (cute, charming, dna wangi)

    BalasHapus
  2. Orang tua adalah segalanya :)

    Raisa
    (Cantik, humoris, sayang keluarga dan pacar)

    BalasHapus